Bolehkah
Siswi Sudah Akil Baligh Bersalaman dengan Guru Laki-laki?
Soal:
Assalamu
‘Alaikum Ustadz. . . ! Boleh tidak seorang wanita yang sudah aqil baligh
(balighah) berjabat tangan dengan seorang guru laki-laki? Mohon penjelasannya.
Neneng
– Bogor
Jawab:
Wa’alaikis
salam Warahmatullah,,, Al-hamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan
salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Saudari
yang dimuliakan Allah. Seorang wanita jika sudah dapat haid atau sudah berusia
15 tahun berarti ia sudah balihgah. Ia menjadi mukallafah; artinya terbebani
perintah dan larangan dalam agama ini.
Di
antara perintah & larangan Islam yang sudah harus ia jalankan adalah dalam
pergaulan dengan lawan jenis, salah satunya dalam bersentuhan & jabat
tangan. Islam melarang seorang laki-laki berjabat tangan dengan wanita
asing, yakni bukan istri dan maharamnya. Juga seorang wanita yang sudah
balighah bersalaman dengan laki-laki (sudah baligh) asing; bukan suami dan
mahramnya. Maka menjawab pertanyaan Anda; haram atas guru laki-laki tersebut
bersalaman dengan murid gadisnya yang sudah baligh; begitu juga sebaliknya. Ini
didasarkan kepada beberapa hadits berikut ini:
Pertama:
Dalam Shahihain, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam menegaskan :
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ
الزَّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ
وَالْأُذَنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ
وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى
وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya
Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami
hal tersebut secara pasti. Mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zananya
adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah
memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan
dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakan.”
Imam
An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim (8/457) mengatakan: “Bahwa setiap
anak Adam ditakdirkan untuk melakukan perbuatan zina. Di antara mereka ada yang
melakukan zina sesungguhnya, yaitu memasukkan kemaluan ke dalam kemaluan. Di
antara mereka ada yang zinanya tidak sungguhan, dengan melihat hal-hal yang
haram, atau mendengarkan sesuatu yang mengarahkan pada perzinaan dan
usaha-usaha untuk mewujudkan zina, atau dengan bersentuhan tangan, atau
menyentuh wanita asing dengan tangannya, atau menciumnya…”
Sedangkan
pada (16/316), An-Nawawi menjelaskan: “Hadits ini menerangkan bahwa haramnya
memegang dan menyentuh selain mahram karena hal itu adalah pengantar untuk
melakukan zina kemaluan”.
Ibn
Hibban memasukkan hadis ini dalam kitab Shahih-nya. Beliau meletakkan
hadis ini di bawah judul: “Bab Penggunaan istilah zina untuk tangan yang
menyentuh sesuatu yang tidak halal.” (Shahih Ibn Hibban, 10/269).
Dalam
kesempatan yang lain, Ibnu Hibban memberikan judul: “Bab, digunakan istilah
zina untuk anggota badan yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan cabang
dari perzinaan.” (Shahih Ibn Hibban, 10/367).
Penamaan
judul Bab dalam kitab shahihnya (yang dilakukan Ibn Hibban) di sini menunjukkan
bahwa beliau memahami bahwa kasus pelanggaran yang dilakukan anggota tubuh yang
mengantarkan zina adalah bentuk perbuatan zina. Karena penamaan judul bab para
penulis hadis adalah pernyataan pendapat beliau.
Al
Jash-shas mengatakan: “Digunakan istilah zina untuk kasus ini dalam bentuk
majaz (bukan zina sesungguhnya dengan kemaluan, -pen).” (Ahkam Al-Qur’an,
3/96).
Kesimpulannya,
istilah zina bisa digunakan untuk semua anggota badan yang melakukan
pelanggaran, karena perbuatan tersebut merupakan pengantar terjadinya
perzinaan. Sedangkan zina yang hakiki adalah zina kemaluan.
Kedua:
Hadits Ma’qil bin Yasar Radhyiallahu ‘Anhu :
لَأَنْ يُطْعَنُ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ
حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Andaikata
kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik
baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ar-Ruyani dalam Musnad-nya no.1282,
Ath-Thabrani 20/no. 486-487 dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 4544
dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 226).
Hadits
ini menunjukkan bahwa menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram adalah
dosa besar (Nashihati lin-Nisa' hal.123).
Berkata
Asy-Syinqithy dalam Adwa` Al-Bayan (6/603): “Tidak ada keraguan bahwa
fitnah yang ditimbulkan akibat menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram
lebih besar dan lebih kuat dibanding fitnah memandang”.
Berkata
Abu ‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali Al-Makky Al-Haitami (Az-Zawajir
2/4) bahwa: “dalam hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh dan berjabat tangan
dengan selain mahram adalah termasuk dosa besar”.
Ketiga:
Hadits Amimah bintu Raqiqoh Radhiyallahu ‘Anha, sesungguhnya Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda :
إِنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ
"Sesungguhnya
aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita.” (HR. Malik 1775, Ahmad
6/357, Ibnu Majah 2874, An-Nasa'i 7/149, dan lainnya).
Hadits
ini dihasankan oleh Al-Hafizh dalam Fathul Bari 12/204, dan dishahihkan
oleh Syeikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 529 dan Syeikh Muqbil dalam
Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fii Ash-Shahihain).
Berkata
Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid (12/243): "Dalam sabda beliau 'aku
tidak pernah berjabat tangan dengan wanita' ada dalil tentang tidak
bolehnya seorang lelaki bersentuhan dengan perempuan yang tidak halal baginya
(bukan mahramnya-pent.) dan menyentuh tangannya dan berjabat tangan dengannya.”
Keempat:
Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam riwayat Shahihain, beliau
berkata:
وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطٌّ فِي الْمُبَايَعَةِ
أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ
“Demi
Allah tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
menyentuh tangan wanita dalam berbai’at, beliau hanya membai’at mereka dengan
ucapan".
Berkata
Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (13/16): “Dalam hadits ini
menjelaskan bahwa bai’at wanita dengan ucapan, bukan dengan menyentuh tangan”.
Berkata
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (4/60): “Hadits ini sebagai dalil bahwa bai’at
wanita dengan ucapan tanpa dengan menyentuh tangan.”
Jadi
bai’at terhadap wanita dilakukan dengan ucapan tidak dengan menyentuh tangan.
Adapun asal dalam berbai’at adalah dengan cara menyentuh tangan sebagaimana
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membai’at para shahabatnya
dengan cara menyentuh tangannya. Hal ini menunjukkan haramnya
menyentuh/berjabat tangan kepada selain mahram dalam berbai’at, apalagi bila
hal itu dilakukan bukan dengan alasan bai’at tentu dosanya lebih besar lagi.
Wallahu Ta'ala A'lam. (PurWD/voa-islam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar